ILMU SOSIAL DASAR REGIONAL
Berikut
akan diperlihatkan contoh-contoh Ilmu Sosial Dasar
Regional.
1.
Hubungan Indonesia dan Malaysia Dalam Bidang Kebudayaan
Indonesia
dan Malaysia memiliki hubungan yang seringkali dipahami dan dipandang secara emosional. Beberapa kejadian
seperti sikap dan perlakuan masyarakat Negara Malaysia terhadap para pekerja Indonesia di Malaysia,
kemudian klaim
Negara
Malaysia terhadap produk budaya dan karya milik Indonesia, selalu menyebabkan protes di Negara Indonesia dan mengarah pada adanya ketegangan hubungan
di kedua Negara tersebut. Dan yang lebih
dari itu,
berhasilnya Negara
Malaysia dalam memenangkan kedaulatan terhadap pulau-pulau
Sipadan dan
Ligitan serta klaim Negara Malaysia terhadap wilayah laut blok Ambalat di Laut Sulawesi
kini telah memacu
protes yang
sangat serius
di Negara Indonesia.
Dari berbagai protes itu, kesan umum yang
berkernbang di Indonesia adalah bahwa Malaysia adalah negara yang semakin
arogan, menginjak wibawa Indonesia dan tidak pantas balas budi. Di media bahkan
disarankan bahwa untuk mendapatkan kembali respek Malaysia terhadap Indonesia,
seharusnya Indonesia tidak segan-segan melakukan konfrontasi separti zaman
Sukarno ataupun meningkatkan kemampuan tempur. Tidak sedikit yang menyarankan
bahwa sudah saatnya Malaysia diberi pelajaran dari kesemena-menaan kebijakan
mereka.
Hubungan Indonesia-Malaysia sebenarnya
semakin kompleks dan tidak dapat dipahami secara emosional. Hal ini terlihat
dari sikap kebanyakan masyarakat Indonesia terhadap Malaysia lebih banyak
diinformasikan dan dipengaruhi oleh pemahaman lama yang statis tentang Malaysia
sebagai bagian dari negara Serumpun yang memiliki banyak persamaan nasib dan
nilai-nilai dengan Indonesia. Pemahaman demikian mengabaikan perubahan
identitas yang telah terjadi di Malaysia termasuk juga cara mareka memahami dan
melihat Indonesia. Walaupun konsep serumpun itu sendiri masih sering digunakan
oleh para elit pemerintah Malaysia, tetapi makna dan fungsinya berbeda dengan
yang dipahami secara umum di Indonesia.
Sumber konflik Malaysia-Indonesia
berkaitan dengan perebutan sumber-sumber ekonomi seperti di Sipadan-Ligitan,
Ambalat, masalah lintas batas, perdagangan galap, illegal logging, migrant
workers dan human trafficking. Demikian juga
dilaporkan sering terjadi pelanggaran perbatasan oleh Malaysia baik perbatasan
udera, laut dan darat yang kemudian akan menimbulkan protes dari pihak
Indonesia.
Namun sejauh ini penyelesaian berbagai
masalah ini sering terhambat pada soal teknis pelaksanaan yang sulit dan
kurangnya kemauan politik di kedua negara untuk sungguh-sungguh belum
menyelesaikan sengketa. Penyelesaian yang dilakukan dalam keadaan demikian
seringkali bersifat reaktif dan sporadil, tanpa menyelesaikan akan permasalahan
sebenarnya. Ketika pernimpin Malaysia ini minta maaf sebagaimana dituntut oleh
Indonesia atas beberapa masalah yang terjadi, hubungan kedua negara seperti
normal kembali. Namun suatu saat beberapa masalah dengan sumber yang sama
seperti penganiayaan terhadap TKI akan muncul kembali dan menimbulkan emosi dan
reaksi yang berlebihan.
Para pekerja atau bahkan turis Indonesia
yang diperlakukan buruk di negeri jiran ini akan segera, membuat marah
masyarakat dan pemerintah Indonesia. Pelanggaran perbatasan oleh Malaysia
misalnya akan menimbulkan reaksi yang sama di berbagai kota di Indonesia.
Sebagai akibat peristiwa ini, Indonesia akan meminta pemerintah Malaysia
meminta maaf. Penjelasan demikian tentu saja panting namun tetap menyisakan
masalah mendasar yang menjadi akar perbedaan dalam hubungan bilateral kedua
negara. Keadaan demikian memerlukan suatu pemahaman lebih baik daripada sekedar
melihat persoalan dari hubungan sebab akibat yang terjadi di permukaan.
Kedua negara dipahami dalam tataran
perbedaan pemahaman tentang identitas satu dengan yang lain yang menjadi sumber
bagi naik turunnya hubungan kedua negara. Lebih konkritnya kedua negara telah
mengalami konstruksi identitas yang berbeda satu dengan yang lainnya yang
berlangsung terus menerus hingga sekarang. Pemahaman tentang shared atau collective
Identity antara, kedua negara sudah semakin senjang bersamaan
dengan berjalannya waktu, dan dalam hal ini pemahaman Malaysia berbeda dengan
periode sebelum ini, dimana konsep serumpun misalnya dipahami sebagai salah
salah satu bagian ‘collective identity’ kedua negara.
Ada empat variable ‘ideational’ penting
yang berkaitan dengan sumber identitas kolektif ini, yakni interdependence, common
fate, homogeneity, dan self-restraint, Keempat faktor ini tidak
berdiri sendiri dalam membentuk identitas, melainkan secara bersama-sama.
Kekuatan dari identitas kolektif demikian bergantung para intensitas dari
gabungan faktor-faktor ini. Berkaitan dengan identitas kolektif ini, perlu
dibicarakan juga pengetahuan bersama (common knowledge) dan pengetahuan
kolektif yang ini sumber inspirasi bagi identitas Malaysia. Salah satu common knowledge yang
berkembang adalah cita-cita tentang ‘Malaysia Boleh’, ‘New Asia’ dan
konsep-konsep lain yang menjadi wacanan untuk mendorang kesiapan Malaysia untuk
bersaing di dunia global. Malaysia seperti banyak negara lain di era
globalisasi tidak bisa terlepas dari struktur peranan untuk mempersiapkan diri
bersaing sebagai agen globalisasi. Pemahaman tentang aspek identitas terakhir
ini yang perlu dikaji untuk melihat bagaimana Malaysia meletakkan hubungannya
dengan Indonesia dari aspek kebudayaan.
2. Tarian Tor-Tor Asal
Sumatera Diklaim
Malaysia
Sudah banyak macam kebudayaan Negara Indonesia di klaim oleh Negara Malaysia. Kini pengklaiman tersebut kembali dilakukan oleh Negara Malaysia, Negeri Melayu
serumpun Indonesia tersebut. Lagi-lagi, tarian Tor-tor yang merupakan tarian asal dari Sumatera utara kembali diklaim oleh Negara Malaysia sebagai tarian ciptaannya.
Anggota Komisi I DPR Hayono Isman menilai bahwa klaim Negara Malaysia atas
tarian Tor-tor asal Mandailing sebagai budaya miliknya sudahlah keterlaluan.
Tindakan yang dilakukan oleh Negara Malaysia
tersebut bisa merusak hubungan baik antar kedua negara.
“Kalau benar, itu sudah keterlaluan. Harapan saya sebagai
anggota DPR tentunya ini dapat dicabut kembali karena ini dapat merusak hubungan
baik kedua negara,” kata Hayono Isman saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta,
Senin (18/6).
Pria yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Pembina Partai
Demokrat itu mengatakan pemerintah Indonesia perlu segera mengklarifikasi hal
tersebut. Harus segera dicek apakah benar tari tor-tor akan didaftarkan ke
UNESCO sebagai budaya Malaysia atau tidak. Kalau benar, UNESCO pun harus
menolaknya.
Anggota Komisi X DPR Raihan Iskandar mengatakan,
permasalahan ini menjadi tantangan bagi pemerintah. Apalagi, registrasi budaya
nasional akan segera dilakukan. ’’Menurut pengakuan LSM di sana itu upaya
mereka dapat eksistensi. Ada bahasa supaya dapat bantuan dana. Ujung-ujungnya
kelihatan mereka ada kemudahan dalam pengembangan budaya di Malaysia,’’ kata
Raihan kepada INDOPOS (Grup JPNN) di Jakarta, kemarin (18/6).
Namun, lanjut wakil rakyat asal Aceh ini, komunitas
Mandailing di Malaysia tidak memikirkan efek yang disebabkan dari upaya mereka.
Yaitu, ketersinggungan masyarakat Indonesia. ’’Masalah seperti ini bisa dikomunikasikan
lebih dahulu. Mencari jalan terbaiknya bagaimana,’’ tutur politisi dari PKS
ini.
Menurutnya, belum diketahui apakah pengakuan tersebut
membuat Tari Tor-Tor dan Gondang Sambilan jadi milik Malaysia. Atau Malaysia
mengakui sumbernya dari Sumatera Utara dan hanya mengembangkan.
’’Upaya-upaya pengakuan seperti ini harus diambil jalan
tengah. Kebudayaan di Malaysia dan Indonesia mirip-mirip. Banyak suku kita juga
di sana. Jangan sampai jadi hubungan negatif. Ke depannya pasti ada pengakuan
lainnya yang bisa membuat kita marah,’’ papar Raihan.
Karena
itu, tambahnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus
proaktif menanyakan masalah ini ke Malaysia. Supaya hubungan sosial budaya bisa
dikomunikasikan dengan baik. Khususnya dalam hal paten mematenkan ke dunia
internasional. ’’Tidak bisa sepihak ini punya Malaysia. Nanti hubungan tidak
baik dengan negara luar,’’ katanya.
Raihan menambahkan, Kemendikbud mempunyai upaya diplomasi
budaya. Peristiwa sekarang ini jadi sarana bagaimana membuktikan eksistensi
budaya. Melalui diplomasi akan ketemu garis komunikasi yang lebih baik.
’’Bisa saja nanti negara lain mengakui Tari Tor-Tor punya
Indonesia yang tumbuh kembang di Malaysia, Brunei, Filipina. Budaya tidak hanya
nasional tapi juga internasional. Karena budaya ada di banyak tempat,’’
pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Wamendikbud) bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti menjelaskan, pihaknya sudah
melakukan rapat antar kementerian membahas masalah ini. Jadi, kejadian awalnya
adalah ada sebuah komunitas Mandailing di Malaysia. Mereka mengajukan
pendaftaran ini ke warisan kebangsaan Malaysia. Tujuannya supaya dapat program
dan anggaran untuk Tari Tor-Tor dan Gondang Sambilan tersebut.
’’Itu belum ditetapkan, masih proses pendaftaran. Kita
melalui Kementerian Luar Negeri minta dilakukan pengecekan langsung kebenaran
ini. Memang seperti itu kejadiannya. Kita minta komunikasi dengan kementerian
penerangan dan kebudayaan Malaysia,’’ jelas Wiendu.
Ia melanjutkan, dalam komunikasi yang dilakukan, pihak
Malaysia berjanji akan menjelaskan permasalahan Tari Tor-Tor ini dalam nota
tertulis ke pemerintah Indonesia. Nota tersebut akan disampaikan Rabu (20/6)
besok. ’’Kita sudah on the right track. Memang kita tidak bisa meninggalkan kewaspadaan.
Kalau udah klarifikasi kita jangan lengah juga. Waspada sepanjang jalan,’’ kata
Wiendu.
Sementara, Anggota DPR RI Effendi Simbolon yang juga Raja
(Ketua) Bolon seluruh Indonesia (Punguan Simbolon Dohot Boruna
Se-Indonesia/PSBI) mengatakan, pemerintah Indonesia tidak perlu marah terhadap
klaim Malaysia. ’’
Cukup dengan mengajukan nota diplomatik, maka Pemerintah
Indonesia akan mendapatkan jawaban jelas atas isu kontroverisal tersebut.
Sejujurnya kita harus berterima kasih pada Malaysia, karena kalau gak ada
ramai-ramai seperti ini mana ada kepeduliannya,’’ tegas politisi PDIP ini
di Kantor Pusat PBSI, Pejompongan, Jakarta Pusat, kemarin, (18/06).
àBerikut
ini beberapa kebudayaan Indonesia yang pernah diklaim oleh Malaysia:
a.
Batik: Klaim Malaysia atas
batik sangat meresahkan perajin batik Indonesia. Bangsa ini harus segera
menghapus bayang-bayang yang meresahkan itu agar perajin batik Indonesia di
kemudian hari tidak perlu memberi royalti kepada negara lain. Perajin
batik Pekalongan, Romi Oktabirawa, mengatakan hal itu dalam pembentukan Forum
Masyarakat Batik Indonesia di Jakarta. Romi mengatakan, generasi batik masa
lampau hanya melihat kompetisi antarperajin di dalam negeri. Kini, sudah
saatnya perajin batik bersatu, menunjukkan eksistensi bahwa batik adalah
warisan budaya Indonesia. Untuk melestarikannya, Pemerintah Indonesia akan
menominasikan batik Indonesia untuk dikukuhkan oleh Unesco sebagai Warisan
Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage).
b.
Tari Pendet: Geram dan marah muncul dari masyarakat Indonesia menyikapi
klaim kebudayaan yang dilakukan Malaysia. Berbagai aset budaya nasional dalam
rentang waktu yang tak begitu lama, diklaim negara tetangga. Pola
pengklaimannya pun dilakukan melalui momentum formal kenegaraan. Seperti melalui
media promosi ‘Visit Malaysia Year’ yang diselipkan kebudayaan nasional
Indonesia: Wayang Kulit, Angklung, Reog Ponorogo, Kuda Lumping,
Lagu Rasa Sayange, Bunga Rafflesia Arnoldi, Keris, Rendang Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar